Sejarah pembatikan di Indonesia pada umumnya dikemukakan oleh beberapa sumber berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan sesudahnya. Pengembangan batik banyak dilakukan pada masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta. Hal ini berkaitan karena kain batik, dahulu merupakan salah satu budaya dari keluarga raja. Pada awalnya, batik terbatas hanya dikerjakan hanya terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya.[1] Batik kemudian menyebar ke rakyat di daerah sekitar keraton karena anyak para pengikut raja atau abdi yang bertempat tinggal di luar keraton dan mengerjakan batiknya di rumahnya masing-masing
Wilayah Banyumas yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa, tentu tak terlepas dari kaitan dengan kerajaan-kerajaan besar di tanah Jawa., begitu pula dengan masalah pengaruh budayanya. Sejarah mengenai asal-usul batik di Banyumas belum ada literatur yang pasti. Tetapi beberapa sumber mengungkapkan bahwa munculnya budaya batik di Banyumas tidak terlepas dari sejarah dinamika kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa. Perkembangan batik di Banyumas yang berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegoro setelah selesainya peperangan tahun 1830. mereka kemudian menetap di wilayah Banyumas. Lama-kelamaan budaya membatik ini merambah pada masyarakat di Sokaraja.[1]
Sedangkan menurut Nian S. Djoemena dalam bukunya Batik dan Mitra, menulis bahwa asal mula batik Banyumas dibawa oleh pengungsi-pengungsi dari daerah Solo ketika di Kerajaan Mataram terjadi perang saudara sekitar tahun 1680.[2] perang saudara ini akibat politik pecah belah Belanda. Pangeran Puger dijatuhkan oleh Amangkurat II dan VOC melarikan diri ke daerah Banyumas. Pengungsi-pengungsi inilah yang diduga menyebarkan budaya batik di Banyumas.
Dalam buku Katalog Batik Banyumasan disebutkan bahwa pada tahun 1913-1933, Bupati Banyumas, Pangeran Arya Gandasubrata senang membuat desain yang kemudian dibatik istrinya. Kemungkinan dari pakaian keluarga Gandasubrata ini kemudian menyebar ke masyarakat Banyumas.Dari informasi para sesepuh dan penggiat batik Banyumas, disebutkan batik Banyumas berasal dari adanya kademangan-kademangan di daerah Banyumas, disamping karena adanya pengikut Pangeran Diponegoro yang mengungsi di daerah Banyumas.[3]Terkait dengan hubungan antara perkembangan batik dengan adanya kademangan-kademangan di daerah Banyumas, diungkapkan oleh salah satu pengrajin yang juga penggiat batik Banyumas yang tinggal di Desa Sokaraja Lor, Bapak Taifur Anwar,
” Dari pengamatan saya, dari cerita-cerita orang
tua, daerah pembatikan itu pada umumnya berada di sekitar pusat-pusat
pemerintahan pada jaman dahulu. Contoh, Jogjakarta, daerah pembatik ada di Kauman,
buruhnya ada di Bantul. Lantas Banyumas, pusat pemerintahan di Kota Lama
Banyumas, sekitar alun-alun, maka buruh batik ada di sekitar Pakunden,
Sudagaran sampai Papringan. Lalu Sokaraja, pusat pemerintahannya itu di
Sokaraja Kulon, tapi yang sekarang wilayahnya lebih dekat dengan Kauman,
sehingga banyak sekali orang-orang batik di Kauman, dan masih sampai sekarang.
Kita lihat Banjarnegara, pusat pemerintahannya dulu di Gumelem, pembatiknya,
atau berkembangnya batik ada di Gumelem. Begitu juga daerah lainnya.”
”...karena orang pemerintahan pada jaman dulu
pakainya batik nyamping, sehingga
harus punya pembatik. Misal dalam keraton, membatiknya kan nggak bisa sendiri,
akhirnya mengambil tenaga dari luar, orang-orang sekitar keraton. ”
”Batik di Banyumas mati suri salah satunya karena
munculnya tekstil bermotif batik, ya batik printing itu. Semakin surut, karena
semakin berkurangnya orang yang memakai batik nyamping, pakai jarit (kain
batik). kan tinggal mbah-mbah saja yang nyampingan. Dan pada saat itu Banyumas
belum mengikuti perkembangan bahwa batik itu tidak hanya untuk nyamping, tapi
juga untuk sandang. Jadi ibaratnya daya kreasinya belum berkembang sampai
sana.”